Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Mangrove merupakan lumbung besar penyimpan karbon. Bagi Indonesia, mangrove merupakan kartu negosiasi penting dalam menghadapi perundingan perubahan iklim di Paris, Desember 2015, demikian arahan dari riset terbaru Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindentifikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. (DepHut,2009).
Bagaimana konservasi hutan mangrove sebagai wisata pendidikan?
Menurut Dahuri (1996), alternative pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling memungkinkan tanpa merusak ekosistem ini meliputi: penelitian ilmiah (scientific research), pendidikan (education), dan rekreasi terbatas/ekoturisme (limited recreation/ecoturism). Potensi rekreasi dalam ekosistem mangrove antara lain (Bahar, 2004):
Potensi ini dapat dikembangkan untuk kegiatan lintas alam, memancing, berlayar, berenang, pengamatan jenis burung dan atraksi satwa liar, fotografi, pendidikan, piknik dan berkemah, serta adat istiadat penduduk lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove.
Partisipasi Masyarakat Lokal
Untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem mangrove, perlu dilibatkan masyarakat dalam menyusunan proses perencanaan dan pengelolaan ekosistem ini secara lestari. Dalam pengelolaan secara lestari dapat dikembangkan metodemetode sosial budaya masyarakat setempat yang bersahabat dengan ekosistem mangrove, dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan membangkitkan kepedulian masyarkat dalam berperan serta mengelola ekosistem mangrove (Bengen dan Adrianto, 1998).
Menurut Suratmo (1990), manfaat dari partisipasi masyarakat dalam sebuah rencana pembangunan adalah sebagai berikut:
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Mangrove merupakan lumbung besar penyimpan karbon. Bagi Indonesia, mangrove merupakan kartu negosiasi penting dalam menghadapi perundingan perubahan iklim di Paris, Desember 2015, demikian arahan dari riset terbaru Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan mangrove terbesar dan memiliki kekayaan hayati yang paling banyak. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindentifikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. (DepHut,2009).
Bagaimana konservasi hutan mangrove sebagai wisata pendidikan?
- Kawasan hutan mangrove atau bakau yang terdapat di sejumlah daerah bila ditata dengan tepat dapat diberdayakan menjadi lokasi pariwisata konservasi alam yang menarik bagi turis.
- Membuat aturan untuk sekolah dapat mengadakan study tour di daerah hutan mangrove.
- Mengadakan event terkait lingkungan di kawasan hutan mangrove.
- Menyebarluaskan informasi destinasi alam ke khalayak umum.
Menurut Dahuri (1996), alternative pemanfaatan ekosistem mangrove yang paling memungkinkan tanpa merusak ekosistem ini meliputi: penelitian ilmiah (scientific research), pendidikan (education), dan rekreasi terbatas/ekoturisme (limited recreation/ecoturism). Potensi rekreasi dalam ekosistem mangrove antara lain (Bahar, 2004):
- Bentuk perakaran yang khas yang umum ditemukan pada beberapa jenis vegetasi mangrove seperti akar tunjang (Rhizophora spp.), akar lutu (Bruguiera spp.), akar pasak (Sonneratia spp., Avicenia spp.), akar papan(Heritiera spp.)
- Buah yang bersifat viviparious (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang terlihat oleh beberapa jenis vegetasi mangrove seperti Rhizophora spp. dan Ceriops spp.
- Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi zonasi).
- Berbagai jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove seperti beraneka ragam jenis burung, serangga dan primata yang hidup di tajuk pohon serta berbagai jenis fauna yang hidup di dasar mangrove seperti babi hutan, biawak, buaya, ular, udang, ikan, kerang-kerangan, keong, kepiting dan sebagainya
- Atraksi adat istiadat masyarakat setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove
- Hutan-hutan mangrove yang dikelola secara rasional untuk pertambakan tumpang sari dan pembuatan garam, bisa menarik wisatawan.
Potensi ini dapat dikembangkan untuk kegiatan lintas alam, memancing, berlayar, berenang, pengamatan jenis burung dan atraksi satwa liar, fotografi, pendidikan, piknik dan berkemah, serta adat istiadat penduduk lokal yang hidupnya bergantung pada keberadaan hutan mangrove.
Partisipasi Masyarakat Lokal
Untuk meningkatkan pengelolaan ekosistem mangrove, perlu dilibatkan masyarakat dalam menyusunan proses perencanaan dan pengelolaan ekosistem ini secara lestari. Dalam pengelolaan secara lestari dapat dikembangkan metodemetode sosial budaya masyarakat setempat yang bersahabat dengan ekosistem mangrove, dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan membangkitkan kepedulian masyarkat dalam berperan serta mengelola ekosistem mangrove (Bengen dan Adrianto, 1998).
Menurut Suratmo (1990), manfaat dari partisipasi masyarakat dalam sebuah rencana pembangunan adalah sebagai berikut:
- Masyarakat mendapat informasi mengenai rencana pembangunan di daerahnya
- Masyarakat akan ditingkatkan pengetahuan mengenai masalah lingkungan, pembangunan dan hubungannya
- Masyarakat dapat menyampaikan informasi dan pendapat atau persepsinya terhadap pemerintahan terutama masyarakat di tempat pembangunan yang terkena dampak langsung
- Dapat menghindari konflik di antara pihak-pihak yang terkait
- Masyarakat akan dapat menyiapkan diri untuk menerima manfaat yang akan dapat dinikmati dan menghindari dampak negatifnya
- Akan meningkatkan perhatian dari instansi pemerintah yang terkait pada masyarakat setempat.
- Hutan Mangrove Muara Angke Jakarta
- Hutan Mangrove Rembang
- Hutan Mangrove Tapak Tugurejo Semarang
- Hutan Mangrove Tarakan
- Hutan Mangrove Margomulyo Balikpapan
- Hutan Mangrove Kampoeng Nipah
- Hutan Mangrove Wanasari Bali
- Hutan Mangrove Kulon Progo
- Hutan Mangrove Wonorejo Surabaya
- Hutan Mangrove Kampung Laut Cilacap